Dalam
salah satu tulisannya, James Danandjaja mencatat bahwa era tahun 80-an
merupakan awal munculnya kecenderungan baru di kalangan perempuan muslim
terutama di kalangan remaja untuk mengenakan pakaian yang menutupi
tubuh dari kepala hingga kaki. Menurut Danandjaja, kecenderungan ini
semakin meluas tidak saja dipraktikkan oleh para perempuan muda, tetapi
juga oleh generasi yang lebih tua. Misalnya saja para perempuan muslim
yang pulang dari naik haji cenderung untuk mengenakan pakaian – yang
disebutnya sebagai - gaya Arab. Sebagian besar dari mereka hanya memakai
pakaian semacam itu selama sekitar empat puluh hari pertama dan
kemudian kembali pada pakaian Barat, namun beberapa diantaranya tetap
mengenakannya secara permanen (Danandjaja, 2005: 375). Pakaian gaya Arab
yang dimaksud oleh Danandjaja adalah busana yang saat ini populer
dengan sebutan jilbab.
Perjalanan
panjang pemakaian jilbab di Indonesia memang tergolong keras dan
berliku. Sejak masa penjajahan dahulu, pemakaian jilbab sebenarnya
bukanlah sesuatu yang baru (istilah jilbab berarti pakaian terusan
panjang yang menutup seluruh tubuh, tetapi di Indonesia lebih mengacu
pada kerudung atau penutup kepala, dan kadang diartikan pula sebagai
busana yang menutup aurat perempuan. Untuk memudahkan pembicaraan,
jilbab disini mengacu pada istilah kerudung). Para siswi sekolah-sekolah
thawalib di Sumatera Barat misalnya, sudah menggunakan kerudung yang dikenal dengan istilah balilik
(berlilit mengacu pada cara memakai kerudung yang dililitkan di
kepala). Begitu juga dengan para pelajar dari sekolah-sekolah semacam
Mu’alimat Muhammadiyah. Namun ada pula kebiasaan memakai jilbab yang
muncul karena adat seperti para perempuan dari Rimpu di wilayah Bima
(NTB). Kebiasaan memakai jilbab bagi mereka bukan karena kesadaran
konsep menutup aurat seperti yang diperintahkan agama tetapi disifati
sebagai tuntutan adat semata (Jamil, 2002: 11).
Tahun
70-an dicatat sebagai tahun munculnya gelombang kebangkitan pemeluk
Islam di dunia internasional yang gaungnya merambah ke segala penjuru,
termasuk ke Indonesia. Sejak saat itu, berbagai kajian keislaman
diadakan oleh organisasi-organisasi bernafaskan Islam yang membuahkan
kesadaran baru bagi perempuan muslim untuk menutup aurat. Selama kurun
waktu 80-90-an jumlah pemakai jilbab terus bertambah, utamanya di
kalangan mahasiswa dan pelajar. Namun bersamaan dengan itu, muncullah
represi pemerintah (Orde Baru) lewat tangan-tangan birokrsinya yang
tidak mengizinkan penggunaan busana muslimah secara bebas, terutama di
lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah.
Orde
Baru yang tengah berkuasa pada saat itu menganggap pemakaian jilbab
sebagai semacam pernyataan politik seseorang. Memakai pakaian muslim
dianggap sebagai semacam pakaian tempur dalam perlawanan terhadap suatu
lingkungan non-Muslim atau masyarakat Muslim abangan, sebagaimana
persepsi yang dimiliki pemerintah kolonial di masa lampau. Terhadap
pakaian gaya Arab, pemerintah Hindia Belanda sering menafsirkannya
sebagai salah satu dari banyak “kebangkitan Islam”. Hal ini diadopsi
pemerintah Orde Baru yang khawatir pemakaian jilbab yang meluas akan
mengakibatkan meningkatnya gejala yang mereka deskripsikan sebagai
partikularistis – yaitu sentimen-sentimen Islami (Van Dijk, 2005: 81).
Namun akhirnya setelah melalui tarik ulur yang cukup lama, tahun 1991
pemerintah mengeluarkan SK No. 100 yang intinya membolehkan penggunaan
jilbab di setiap lembaga pendidikan (Jamil, 2002: 11). Sejak saat itu,
laju pemakaian jilbab hampir tak dapat dibendung lagi.
DARI IDA ROYANI HINGGA GITA KDI
Saat
ini di ruang-ruang publik, jilbab sudah menjadi pemandangan yang
semakin umum. Hampir tidak ada satu tempat, kalangan, atau lembaga pun
yang tidak tersentuh jilbab. Di kantor, lembaga –lembaga pemerintah,
LSM, hotel, rumah sakit, kalangan ilmuwan, pejabat negara, artis, buruh,
pengusaha, semua telah tersentuh jilbab. Berbagai jenis dan model
jilbab yang anggun pun semakin banyak dikreasikan.
Menarik
diamati, mode jilbab yang yang dikenakan dari satu era ke era
selanjutnya ternyata tak lepas dari adanya tren tertentu. Di tahun
80-an, dikenal jilbab a la Ida Royani. Mantan
penyanyi pop era 70-an ini memiliki sebuah butik busana muslim. Busana
yang dijual sebagian besar amatlah mahal, sekitar 600.000 rupiah
(Danandjaja, 2005: 375). Walau sebagian orang Jakarta yang kaya mampu
membelinya, namun busana butik Ida Royani sangatlah segmented.
Harga dan modelnya terlalu ekseklusif untuk dipakai masyarakat
kebanyakan, tetapi hal ini memang merupakan langkah strategis Ida agar
kalangan menengah dan atas tidak segan untuk berjilbab. Model gaun-gaun
dari butik Ida Royani mempunyai ciri yang khas, yaitu warna-warna polos,
penuh dengan draperi, dan terkesan boros kain.
Tahun
90-an, muncul artis Neno Warisman yang mode jilbabnya jadi panutan
masyarakat. Neno selalu memakai kerudung ganda. Caranya adalah dengan
memakai jilbab dasar, kemudian dilapisi dengan kerudung segitiga atau
selendang ringkas dengan warna lain. Saat itu, hampir setiap acara resmi
semisal resepsi pernikahan atau wisuda, penulis selalu melihat para
perempuan pemakai jilbab meniru gaya Neno Warisman.
Di
tahun 2000-an mode jilbab tambah seru seiring menjamurnya toko-toko dan
butik-butik busana muslim di kota-kota kecil hingga kota-kota besar,
terutama di Jawa. Tetapi lagi-lagi para artislah yang menggiring
ke arah mana angin tren bertiup. Salah satu artis tersebut adalah Inneke
Koesherawaty. Artis yang di era 80-an terkenal dengan film-film
panasnya, di tahun 2000-an menghebohkan publik Indonesia
dengan keputusannya untuk berjilbab. Saat itu dia menyatakan menyesali
apa yang telah dilakukannya dalam dunia keartisan Dengan berjilbab
Inneke berharap dapat merekonstruksi dirinya agar menjadi muslimah yang
baik. Pemberitaan infotainmen yang mulai menjamur saat itu turut
menggelembungkan popularitas Inneke. Apa yang dikenakan Inneke,
dijadikan panutan oleh masyarakat. Salah satunya adalah “jilbab Inneke”
yang kemudian populer. Bentuk jilbab gaya
Inneke adalah memakai jilbab segitiga yang relatif kecil (tidak lebar),
dililitkan ke leher, kemudian dimasukkan ke dalam kerah baju. Untuk
mempermanis penampilan, bisa pula ditambahkan selembar – semacam syal –
kecil dengan warna lain yang sesuai untuk dililitkan lagi di atas jilbab
dasar. Gaya ini cukup lama bertahan, bahkan sampai sekarang. Para
eksekutif muda perempuan, mahasiswi, dan ibu-ibu muda amat gemar
menggunakan “gaya Inneke” ini.
Selain
Inneke, ada pula artis kecil yang telah beranjak remaja yang turut
mewarnai tren jilbab, yaitu Marshanda. Pada penampilannya di bulan
Ramadhan tahun 2003, selain menggebrak pasaran lagu religius Islam
dengan albumnya “Allah” serta penampilan berjilbabnya di sinetron
“Bidadari”, apa yang dikenakan Marshanda menjadi tren di masyarakat.
Hampir semua tempat yang menjual busana muslim menyediakan kerudung
jenis ini, “kerudung Marshanda”. Bentuk kerudung ini simpel dan instan,
yaitu berupa kerudung segitiga yang bertali di bagian kepala serta
bertaut di bagian leher. Tidak perlu peniti, cukup dipaskan di kepala
dan diikat. Selain itu, ada pula model lain,
yaitu “kerudung Lutfiah Sungkar”. Hajjah Lutfiah Sungkar adalah seorang
penceramah agama yang mengisi acara tetap disebuah televisi swasta
nasional. Penampilannya memang khas, dengan jilbab dasar yang
kemudian dilapisi dengan selendang lebar yang menyelimuti hampir seluruh
tubuhnya. “Kerudung Lutfiah Sungkar” digemari terutama oleh ibu-ibu.
Berbagai gaya
yang terinspirasi para sebriti idola publik tersebut ternyata tidak
seheboh yang paling mutakhir saat tulisan ini dibuat. Di awal tahun 2006
ini marilah sejenak kita cermati model seperti apa yang sedang
digandrungi. Berdasar pengamatan penulis, sejak pertengahan tahun 2005
lalu, di ruang-ruang publik hampir semua perempuan muslim mulai
mengenakan penutup yang bermodel sama di kepalanya. Ini adalah fenomena
yang langka, karena se-tren apapun suatu gaya
jilbab, belum pernah terlihat begitu masif seperti model tersebut.
Model jilbab yang dimaksud adalah jilbab berbahan kaos (semacam bahan
kaus untuk membuat blus strech yang biasanya ketat),
berlapis spon dan membentuk ‘kanopi’ di bagian dahi dengan pola jahit
tindas horizontal. Pola jahitan jilbab ini sangat inovatif karena
menghasilkan penutup kepala yang bila dipakai akan membentuk kepala dan
sekeliling leher secara ketat, tetapi sekaligus berdraperi. Coraknya
bermacam-macam, mulai dari yang polos hingga berbunga-bunga. Warnanya
juga sangat beragam, mulai dari warna cerah hingga warna gelap.
Hebatnya, semua perempuan muslim sepertinya suka dengan jenis ini.
Dalam
setiap kesempatan penulis ketika harus melakukan interaksi sosial di
tengah masyarakat, kecenderungan ini sungguh dahsyat. Dalam semua
kesempatan : arisan ibu-ibu, menjenguk bayi, menjenguk orang sakit, di
majelis-majelis taklim, bahkan di layar-layar televisi, semua perempuan
yang tampil berjilbab, hampir dipastikan sebagian besar memakai model
ini. Lalu, darimana sumber inspirasi model jilbab ini?
Berdasar
penelusuran penulis dari toko-toko ataupun dari mengorek info ke para
perempuan berjilbab, semua menyatakan bahwa model ini dinamai “jilbab
Gita KDI”. KDI merupakan singkatan Kontes Dangdut TPI. Sebenarnya memang
akan terasa agak membingungkan ketika ada seorang pemakai jilbab
menjadi penyanyi dangdut. Tetapi begitulah kenyataannya, citra pemakai
jilbab sekarang tidak lagi dicap ‘angker’ sebagaimana awal kemunculannya
dulu. Kontes dangdut ini adalah salah satu acara andalan stasiun
televisi TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang sengaja dibuat demi
menyaingi kontes-kontes sejenis tetapi yang beraliran musik pop semacam
AFI (Akademi Fantasi Indosiar) atau Indonesian Idol di RCTI. Hingga saat
ini KDI telah diselenggarakan hingga KDI 3 (KDI 4 masih menggelar
audisi ketika tulisan ini dibuat). Salah satu pemenang KDI 2 tahun 2004
yang lalu adalah Gita, seorang perempuan muda berjilbab. Penampilannya
yang berbeda dengan pedangdut pada umumnya, menarik simpati publik dan
menghantarkannya menjadi pemenang kontes yang dianggap cukup bergengsi
di kalangan pecinta musik dangdut ini. Pada malam-malam menjelang final
hingga malam final puncak acara, Gita selalu mengenakan jilbab khas
(dengan gambaran seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas).
Rupanya, jilbab yang dipakai Gita ini sekarang menjadi kerudung ‘sejuta
umat’.
BEBERAPA ALASAN
Henk
Schulte Nordholt (2005: 47) memberikan perhatian lebih jauh mengenai
berbagai subjek yang berkaitan dengan tema penampilan luar dengan
mengetengahkan suatu pernyataan :
Susan
Brenner telah mencoba untuk menjelaskan mengapa para perempuan muda dan
terpelajar di Jawa Tengah memilih memakai kerudung. Suatu pendekatan
struktural mungkin akan mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan ini
adalah subjek tekanan eksternal dan bahwa “pilihan” mereka merupakan
hasil dari sistem yang didominasi oleh pria. Sebaliknya, Brenner
memperlihatkan bahwa para perempuan itu sendiri memutuskan untuk
mengubah pakaian mereka sebagai proses kesadaran diri dan rekonstruksi
diri. Cara berpakaian yang baru menyebabkan mereka mengubah perilaku.
Penulis
sependapat dengan pernyataan di atas. Akan tetapi sayangnya, dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa penelitian Susan Brenner belum dipublikasikan
sehingga kita belum dapat mengetahui poin-poin secara lengkap pemikiran
yang disuguhkan Brenner. Menurut pendapat penulis, berdasarkan
alasannya, pemakai jilbab dapat dibagi dalam dua kategori : yang pertama
adalah mereka yang berjilbab dengan alasan sekedar sebagai gaya, (dan)
atau sebagai ‘pengguguran kewajiban’ dalam kehidupan sosial. Yang kedua
adalah mereka yang berjilbab dengan alasan sebagai upaya proses
kesadaran diri dan rekonstruksi diri sebagaimana yang dinyatakan oleh
Brenner.
Konsep
jilbab didasarkan pada kewajiban agama Islam bagi pemeluknya untuk
menutup aurat dengan jilbab. Aurat perempuan menurut Islam adalah
seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Aurat tidak boleh
diperlihatkan kecuali terhadap suami atau mahramnya (saudara atau
kerabat dengan kriteria tertentu), yang implikasinya secara umum
mewajibkan perempuan menutup auratnya terutama bila di luar ataupun
keluar rumah. Pada prakteknya, tidak semua perempuan muslim mempunyai
pemahaman dan kesadaran yang sama mengenai konsep tersebut walaupun
wejangan agama dalam berbagai kajian keislaman seringkali menyinggung
hal ini. Di sisi lain tokoh-tokoh agama sebagian besar adalah tokoh yang
berpengaruh dalam membentuk opini di tengah masyarakat tradisional dan
mampu mempengaruhi kontrol terhadap masyarakat. Maka terjadilah suatu
kompromi antara para perempuan dengan para tokoh agama (menurut pendapat
saya, yang patut dicatat di sini adalah bahwa ‘tokoh agama’ yang
dimaksud bukanlah representasi dari dominasi pria karena saat ini mulai
muncul para dai perempuan yang justru banyak memberi andil). Kompromi
itu terwujud misalnya dengan jilbab yang dikenakan hanya ketika
mengikuti acara-acara bertema keagamaan. Selebihnya, dalam
kondisi-kondisi yang seharusnya menutup aurat, banyak perempuan muslim
yang tidak melakukannya.
Di
bagian lain, penulis menemui para pemakai jilbab yang mengenakan jilbab
lebih karena alasan gaya. Bagi sebagian orang, mengenakan jilbab
memberi keuntungan-keuntungan secara fisik misalnya untuk menutupi
kekurangan tubuh atau sekedar menarik respek dari orang lain. Ada pula
yang mengenakan jilbab tanpa alasan yang spesifik, lebih karena “pengen
aja”, “kayaknya enak”, dan sebagainya.
Pada
kategori kedua, berdasarkan kesaksian yang penulis kumpulkan, para
pemakai jilbab dengan alasan sebagai upaya proses kesadaran diri dan
rekonstruksi diri mempunyai pola yang khas. Pola-pola itu biasanya
diawali dengan adanya suatu kondisi semacam mental shock
dari suatu peristiwa yang dialami, berlanjut dengan perenungan diri
yang kemudian memunculkan dorongan internal untuk berjilbab, yang
biasanya revolusioner. Pola ini terjadi di semua kalangan, termasuk
kalangan selebriti. Misalnya saja pengakuan Ratih Sang, seorang
peragawati senior Indonesia (dalam sebuah tayangan televisi “Ngaji Yuuk”
yang dipandu ustadz Jefri Al Buchory di SCTV saat Ramadhan tahun 2005
yang lalu). Ketika Ratih Sang ditanya oleh pemandu acara apa alasan
Ratih untuk berjilbab, Ratih menjawab bahwa kesadarannya muncul tahun
2002 lalu ketika ayahandanya meninggal dunia. Saat itu Ratih merasa
sangat kehilangan serta amat terpukul.
Saya
merasa sedih sekali. Saat itu saya teringat dengan salah satu hadits
nabi, bahwa orang yang meninggal tidak akan membawa apapun kecuali
sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak yang sholeh. Satu hal
yang kemudian saya pikirkan adalah : saya ingin jadi anak sholeh bagi
ayah saya. Selama ini saya merasa belum sholeh sama sekali. Nah, dari
situlah saya tergerak untuk berjilbab, karena berjilbab adalah salah
satu hal yang diperintahkan Allah yang saya belum melakukannya.
Ratih
tidak menganggap jilbab sebagai penghalang profesinya, sementara
profesi peragawati masih dianggap kontradiktif dengan penampilan
berjilbab. Sebagai kompromi, Ratih Sang menciptakan genre modeling
Islami dengan mendirikan sekolah mode, menerbitkan majalah, dan
mengadakan even-even peragaan busana Islami.
Pola
serupa juga dialami oleh Ida Royani. Dalam sebuah infotainmen “Ceriwis
Yo Wis” di Trans TV bulan November 2005 lalu, Indy Barens sang pembawa
acara menanyai Ida Royani mengenai hal apa yang mendorong Ida hingga
tergerak untuk berjilbab. Saat itu Ida Royani menjelaskan bahwa sebelum
berjilbab dia adalah artis yang ‘semau gue’ dalam berpakaian. Misalnya
saja ketika dia memutuskan untuk memakai celana jeans
gaya robek-robek, Ida tidak sekedar bercelana robek di lutut, tetapi
robeknya dia sengaja di bagian pangkal paha atau bahkan di pantat. Suatu
hal yang dianggap ‘berani’ kala itu. Namun suatu hari Ida yang ‘badung’
mendatangi suatu pengajian, dimana pemberi wejangan menyinggung masalah
menutup aurat.
Nah,
pak ustadz-nya itu mengatakan bahwa menurut Qur’an perempuan muslim
yang kelihatan rambutnya, walau sehelai sekalipun, dia akan diazab sama
Allah di neraka. Sama saja, rambut di atas sama rambut di bawah,
semuanya hukumnya haram kalau tidak ditutup. Ya cuma
sesimpel itu aja pengajian yang saya denger. Saya cukup shock mendengar
hal itu. Tapi entah kenapa, saya kemudian selalu memikirkannya. Saya
kemudian jadi banyak tanya ke orang-orang yang saya anggap lebih
tahu...sampai akhirnya saya putuskan untuk mantap berjilbab.
Alhamdulillah sampai sekarang.
Bagi
perempuan berjilbab pada ketegori kedua ini, berjilbab adalah suatu
dorongan internal dan sama sekali tidak berasal dari tekanan eksternal.
Berdasar pengamatan penulis, memang ada pemakai jilbab yang memakai
jilbab karena paksaan orang lain, akan tetapi biasanya tidak kita dapati
ke-konsisten-an antara pakaian dengan perilakunya, ataupun
ke-konsisten-an dalam pemakaiannya. Pemakai jilbab hasil paksaan akan melepaskan jilbabnya begitu ada kesempatan. Kondisi
ini berkebalikan dengan pemakai jilbab yang didorong keinginan diri
sendiri. Dia tidak akan melepas jilbabnya – bahkan menganggap perintah
tersebut sebagai penghinaan besar – dalam kondisi apapun sejauh sesuai
aturan dalam Islam. Pemakai jilbab dengan dorongan internal biasanya
akan berusaha sekuat tenaga untuk segera berjilbab begitu keinginan itu
muncul, untuk kemudian memakainya sekonsisten mungkin. Pada saat itu,
mereka akan berusaha agar pakaian mereka dapat memberi dampak
rekonstruktif bagi kepribadiannya.
PENUTUP
Dua
kategori berdasar alasan sebagaimana diuraikan di atas, keduanya
menurut hemat penulis sesungguhnya sama-sama bernilai rekonstruktif.
Bagi kalangan yang menggunakan jilbab sebagai sekedar gaya atau sebagai
kompromi sosial, masih ada harapan untuk mengubahnya menjadi suatu
kesadaran. Bagi kategori kedua, kehadiran mereka akan sedikit banyak
memberi pengaruh bagi kategori pertama. Akan tetapi jilbab hanyalah
salah satu dari serba-serbi berpakaian. Keberadaannya merupakan bagian
dari untaian peristiwa budaya yang dinamis dan berubah. Dalam dimensi
sosial, apabila spirit jilbab yang bermakna rekonstruksi dapat
diterapkan dalam struktur sosial, maka akan memunculkan rekonstruksi
sosial yang lebih baik serta menghapus kekecewaan masyarakat saat ini
terhadap konstruksi sosial yang ada.
Kepribadian
tidak dapat diukur dengan pakaian, akan tetapi cara berpakaian
seseorang akan mencerminkan kepribadian seseorang. Melalui pakaian,
dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah
pernyataan yang sangat kuat tentang kelas, status, dan gender.
Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh menawarkan petunjuk-petunjuk
transformasi sosial yang luas (Taylor, 2005: 121).
Fenomena
jilbab dapat pula dimaknai sebagai gejala komodifikasi (menjadi
komoditas) di pentas konsumsi massa. Ketika kerudung dan jilbab serta
fashion Islami lain kian menjadi salah satu ikon gaya hidup dalam
fashion, dan mulai menjadi bisnis besar, serta banyak dipakai para artis
dalam dunia hiburan seperti sekarang ini, maka hal ini tak ubahnya
dengan memberi label “Islamisasi” dalam perilaku konsumtif di dunia mode
dan shopping. Padahal mungkin yang terjadi sebenarnya
adalah kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat keagamaan oleh pasar,
dunia bisnis, atau kapitalisme itu sendiri (Ibrahim, 2004: 11).
0 comments: